Cara Gila Jadi Pendidik

Pendidik inspiratif dapat menggairahkan dan memberi stimulasi.  Stimulasi itu bisa berupa ide, pikiran, emosi bahkan mentalitas untuk berubah.  Tugas pendidik demikian perlu dilakoni dengan pendekatan semangat seorang manager.

Sebagai pengajar entah itu pastor, pendeta apalagi guru dan dosen, selama ini kita cenderung bersikap terlalu tenang, dingin, dan menahan diri.  Sikap demikian memang penting, namun kita tetap perlu lebih bergairah untuk berpartisipasi dengan berapi-api dalam aktualitas dan kontekstualitas perjuangan dan pergulatan siswa/mahasiswa dalam proses mereka menemukan sasarannya di belantara keanekaragaman pilihan dan peluang.

Pembelajaran inspiratif menuntut pendidik mengombinasikan beberapa ciri wiraniaga, pelamun, artis, perencana, filosof, pengacara, pendeta, prajurit dan diplomat bahkan jenderal perang.  Pendidik adalah “bos” di kelas, kawan sekerja, kawan seangkatan, bawahan, pelajar, guru, penasehat dan tokoh sekaligus.

Semua pendidik di mana pun memiliki tantangan serupa,  yaitu bagaimana memaksimalkan potensi siswa/mahasiswa di luar jangkauan kesadaran mereka sendiri dengan berusaha sesempurna mungkin melalui penetapan sasaran ambisius bagi mereka sekaligus bagi dirinya sendiri.

Pembelajaran yang memperhatikan hasil optimal maupun kepuasan belajar dan pertumbuhan pribadi para siswa/mahasiswanya, merupakan contoh pengetahuan dan seni pengajaran yang harus dimiliki oleh seorang pendidik.

Pendidik yang gagal menangani masalah akibat kelesuan pembelajaran yang menimpa siswa/mahasiswa di dalam kelas, akan gagal pula memaksimalkan efektivitas dam kontribusi paling berharga dalam pembelajaran, yaitu siswa/mahasiswa yang berbakat. Sebaliknya, siswa/mahasiswa yang tidak memandang secara obyektif pada kemungkinan ia menjadi korban inkompentensi pendidik, akhirnya terkurung dengan produktivitas di bawah potensi dan perasaan bosan terus-menerus. Kita berada di mana?           (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Ketua Atlasia Stata)

Komputer : Jalan Menjadi Manusia

“It is not the strongest nor the most intelligent of the species that survives, but the one that is most adaptable to change.” (Charles Darwin)

Dewasa ini, kita dapat membandingkan antara kegairahan kita dalam diskusi daya magis agama sepanjang sejarah peradaban manusia dan kegairahan kita berbicara tentang komputer sejak era 1980-an. Agama dan komputer telah berpengaruh besar pada pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku manusia dalam usahanya memaknai diri di tengah relasi dengan sesama dan realitas lain di sekelilingnya.

Di negara-negara maju, komputer jadi way of life dari masyarakat. Sebagai way of life, mereka menggunakan komputer untuk mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan dunia lewat sistem jaringan internet. Informasi menjadi bagian penting dari proses pematangan mentalitas, emosionalitas, dan kesadaran diri. Tetapi, di Indonesia, komputer masih langka sehingga lebih dari separuh rakyat Indonesia terisolasi dari informasi. Kelangkaan tersebut disebabkan oleh sumber daya manusia pemerintahan yang belum maksimal mengelola informasi sebagai aset bagi proses perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan-keamanan menuju masyarakat beradab (civil society). Persoalannya adalah bagaimana masyarakat Indonesia bisa membangun civil society dalam kondisi minimnya sarana sumber informasi?

Komputer menjadi sarana vital globalisasi. Ia membantu kita mengakses berbagai informasi strategis seputar tatanan masyarakat global. Fungsinya yang strategis bisa menjadi konstruktif sekaligus destruktif bagi masyarakat. David J. Bolter mendeskripsikan situasi ini (Turing’s Man : Western Culture in the Computer Age, 1984), seperti dikutip Dennis C. Smolarski (1988), bahwa komputer telah menentukan bagaimana kita bertindak dan mendefinisikan diri sendiri di tengah sesama dan lingkungan hidup. Dengan kata lain, komputer mampu me-”manusia”-kan diri sendiri.

Situasi dilematis manusia

Smolarski, dalam refleksinya, The Spirituality of Computers (Spirituality Today, Winter 1988, Vol. 40 No. 4, pp. 292 -307) mendeskripsikan posisi komputer sejajar dengan fungsi kendaraan, pesawat terbang, telpon, radio, dan televisi. Yaitu, mereka membuat hidup kita kian lebih praktis sekaligus lebih kompleks. Teknologi komunikasi informasi yang baru ini (komputer) berkapasitas untuk mempertinggi penghargaan kita terhadap ciptaan yang sungguh-sungguh mengagumkan. Dengan bantuan alat-alat tadi, kita dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan dan bisnis, tetapi juga dalam berbagai upaya kegiatan kemanusiaan seperti peace building, keadilan, toleransi, pendidikan, dan pengembangan sumber daya manusia.

Bertolak dari pengalaman kehadiran agama di tengah umat manusia, Smolarski memprediksi komputer dengan berbagai perangkat sistemnya yang canggih, akan berpengaruh posifit dan negatif pada kita, tetapi semuanya itu bergantung pada bagaimana kita sendiri memanfaatkannya.

Pendapat Smolarski, tentang kelebihan komputer itu merupakan hasil pengamatannya sendiri pada prinsip kerja komputer. Komputer bekerja pada prinsip ”setiap saat, setiap waktu interaktif”, sehingga ia mengatasi hambatan ruang dan waktu. Misalnya, seorang fotografer di lapangan bisa menyiapkan foto ke kantor pusat redaksinya hanya dalam hitungan menit bila ia memakai kamera sistem digital. Bayangkan jika seorang fotografer, yang meliput berbagai peristiwa menarik (seperti ulah para supporter, aksi para pemain sepak bola plus pelatihnya, obyek wisata dan sebagainya) seputar liga-liga di kawasan Eropa dan yang meliput berbagai peristiwa (demo, dialog, sidang, dan sebagainya) di berbagai belahan dunia, harus mencuci dulu filmnya di studio atau harus ke kantor, maka akan memerlukan waktu lama, dan mereka akan ketinggalan peristiwa di lapangan.

Komputer pun melalui perangkat khusus sistem internet telah membantu para wartawan cetak bisa melaporkan dan memantau berita dengan cepat dan cermat dari berbagai belahan dunia, yang berjarak ribuan kilometer. ”Melalui internet kita bisa menjangkau seluruh dunia. Kita bisa melihat apa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Sebelumnya itu tak mungkin,” kata Peter Kuiper, seorang pakar teknologi informasi, seperti dikutip Endang Roh Suciati (2000).

Jasa internet, misalnya, telah membuka mata masyarakat internasional apa motivasi terselubung USA untuk menyerang Irak. Kecaman terhadapa USA kemudian merupakan gerakan moral terbesar sepanjang sejarah umat manusia untuk menentang adanya peperangan atas negara lain. Saat ini, di Indonesia, ada gerakan 1.000.000 facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto untuk reformasi sistem penegakan hukum di Indonesia. Gerakan ini membuka kotak pandora konspirasi yang melemahkan sistem hukum selama ini.

Di sisi lain, komputer pun bisa mengganggu proses terbentuknya civil society bila digunakan untuk hal-hal destruktif seperti hacker yang menciptakan virus untuk mengganggu sistem informasi dan komunikasi dengan melakukan transaksi palsu, penyadapan yang melanggar privasi orang, pornografi yang bebas, dan berbagai kasus kejahatan dunia maya lainnya.

Berbagai problem yang muncul, menurut Smolarski, lebih merupakan akibat penyalahgunaan oleh kita sendiri. Banyak orang masih terbelenggu oleh obsesi lebih mementingkan diri sendiri daripada kesejahteraan bersama dan keutuhan lingkungan hidup. Smolarski menyebut pembalikan fungsi ini sebagai penyalagunaan rahmat ilahi. Perkembangan komputer dalam budaya manusia, lanjutnya, merupakan suatu perkembangan ”ilmu pengetahuan” informasi. Tetapi, perkembangan itu malah tidak membuat kita lebih dekat kepada kemanusiaan universal.

Gap ini muncul dari kekeliruan kita dalam memilih informasi untuk berelasi dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri, sesama dan Tuhan. H. Bastian, seorang teolog-pedagog, seperti dikutip Robert Bala (2003), mengingatkan bahwa sibernetik merupakan bagian khusus dari komunikasi yang diartikan sebagai kontak yang terjalin melalui informasi. Tanpa informasi, maka komunikasi akan kehilangan gairah.

Dalam konteks Indonesia, ada persoalan bagaimana kita bisa berkomunikasi dalam kenyataan pluralitas dan heterogenitas keindonesiaan? Di manakah teridentifikasi berbagai hambatan komunikasi selama ini? Persoalan ini selalu mempunyai kemendesakan tersendiri mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama. Selama ini, lantaran salah kelola informasi, umat beragama menodai jati diri agamanya yang sejati, yaitu agama yang berpihak kepada kepentingan kemanusiaan, menegakkan keadilan, peduli pada rakyat, dan menghindari kekerasan. Bagaimana memulihkan jati diri agama yang sejati di dalam setiap pribadi penganutnya? Smolarski memang tak memberikan solusi cepat saji. Ia menekankan pentingnya proses menuju kesadaran diri dan sosial yang berlandaskan komunikasi ”kasih” sebagai bahasa universal.

Informasi demi Integrasi

Komputer bukan hanya sebagai wujud perkembangan teknologi informasi, tetapi juga bentuk integrasinya berbagai aspek kehidupan kita. Komputer berperan dalam usaha penyadaran mentalitas yang masih berpusat pada egoisme dan fanatisme. Agama, misalnya, hendaknya cepat tanggap terhadap peluang ini untuk mensosialisasikan nilai-nilai religiusnya dalam berbagai aspek kehidupan kita. Begitu pula negara agar menyediakan berbagai perangkat hukum yang mengatur masyarakat dalam aplikasi kecanggihan teknologi informasi ini.

Kolaborasi antara efisiensi komputer dan berbagai bidang kehidupan merupakan berbagai kemungkinan yang tak dapat kita hindari. Maka bukan zamannya lagi untuk mengkotak-kotakkan bidang ilmu secara ketat, karena makin disadari ilmu pengetahuan pada hakikatnya, menurut Edward O. Wilson (Consilience : The Unity of Knowledge, 1998), merupakan satu kesatuan.

Pematangan mentalitas dan emosionalitas bersikap dan berprilaku rasional dan bijak atas fungsi komputer mutlak menjadi satu paket dengan pendidikan transfer teknologi informasi kepada berbagai lapisan masyarakat. Perbedaan peran komputer sebagai sarana konstruktif atau sarana destruktif bagi kita, menurut Smolarski, tampaknya sederhana, yaitu kesadaran sosial. Kesadaran sosial menentukan sebuah pilihan apa yang berpengaruh pada diri sendiri, sesama dan lingkungan. Dengan demikian, komputer bisa menjadi sarana kontrol sosial konstruktif atau destruktif bagi berbagai perkembangan bidang hidup kita hanya tergantung pada bagaimana mentalitas kita memanfaatkannya.

Akhirnya, komputer pun bisa mengundang setiap insan untuk menyadari dan mengenal kembali apakah kita dapat menempatkan kegunaan hasil ciptaan sendiri demi kemanusiaan? Jangan sampai hasil ciptaan kita justru menjadi bumerang yang mengancam kehidupan sendiri. (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana FE Universitas Mercu Buana Jakarta)