Ruang Politis Media Sosial di Indonesia
Indonesia adalah Republik Kapling menurut Sosiolog Universitas Indonesia Thamrin Amal Tomagola. Fenomena ini menjadi ancaman dan peluang bagi semua parpol, khususnya sembilan parpol di DPR saat ini. Partai-partai yang mengelola ide berbasis sara mulai dan akan ditinggalkan oleh konsituennya. Revolusi teknologi informasi memicu modernisasi dalam berbagai sektor kehidupan masyarakat, termasuk politik. Kini, teknologi informasi memaksa partai eksklusif dan ortodoks menjadi modern, demokratis, dan progresif. Kampanye online melalui berbagai media sosial, misalnya, telah menjadi kekuatan alternatif untuk mengubah sikap politik. Proses demokratisasi pun masuk berbagai lapisan masyarakat. Ekosistem media sosial pun menjanjikan potensi ancaman kehilangan ceruk konstituen dan peluang memperbesar pasar konstituen masing-masing parpol. Ancaman lebih besar daripada peluang bila parpol menggunakan teknologi informasi tanpa perhitungan. Sebaliknya, penggunaan media sosial dengan tujuan dan strategi pengelolaan isu yang edukatif, misalnya, akan memperluas penetrasi parpol pada pemilih mengambang, yang menjadi target dan kepentingan semua parpol menyongsong 2014.
Sejauh ini, konstituen dipelihara dengan cara konvensional melalui aktivitas sosial seperti bazar murah, pembagian sembako, penanggulangan bencana dan sebagainya di akar rumput. Padahal aktivitas sosial terbukti selalu menimbulkan pro dan kontra dalam masyarakat. Transformasi parpol dalam masyarakat lebih efektif bila para politisi memiliki kemampuan teknis managerial mengelola isu yang berhubungan langsung dengan kepentingan masyarakat. Misalnya, bagaimana pengurus partai di tingkat kecamatan, kabupaten/kota, propinsi, dan pusat mengelola situasi dan kondisi tertentu dari masyarakat menjadi representasi kehadairan parpol di tengah masyarakat. Media sosial memberikan kesempatan bagaimana para politisi melakukan pendidikan politik melalui ide-ide dan isu-isu yang berkembang dalam masyarakat. Oleh karena itu, media sosial bisa menjadi agen perubahan politis dalam masyarakat.
Media sosial menciptakan transformasi parpol, khususnya yang berkompetisi di DPR 2009-2014. Media sosial mengubah budaya dan gaya manajemen lama antara lain: dari loyalitas kepada kharisma individu menjadi loyalitas kepada program kerja team, dari pandangan kader berduit adalah raja menjadi pengurus dan konstituennya masing-masing adalah raja, dari pandangan sponsor pemilu adalah pengurus partai yang kaya menjadi konstituen adalah sponsor, dari orientasi hasil suara (result oriented) menjadi lebih berorientasi proses demokratisasi, dari cara kerja hierarkis vertikal menjadi lebih fungsional horizontal, dari dominasi jabatan dan senioritas menjadi dominasi prestasi dan kerja keras dari setiap kader partai dan simpatisannya.
Peluang Teknologi Informasi
Teknologi informasi terbukti meningkatkan efisiensi untuk menjangkau konstituen yang lebih luas. PKS mampu menyedot konstituen yang mengejutkan pada pemilu 2004 kendati pertama kali mengikuti Pemilu lantaran kader PKS akrab dengan teknologi. Kader PKS di kampus-kampus terus-menerus diberdayakan agar lebih produktif, kreatif, dan inovatif untuk menghadirkan image, cerita, program dan perjuangan PKS di dunia maya. Kini, peningkatan efisiensi transformasi parpol di tengah masyarakat hanya dimungkinkan dengan aksesibilitas kader dan simpatisannya ke dunia teknologi informasi, dari desa sampai kota, dari daerah sampai pusat. Semua parpol lebih efisien, adaptif, kompetitif, dan transformatif terhadap berbagai perubahan dan dinamika pembangunan masyarakat di tingkat lokal, regional dan nasional hanya kalau sumber daya manusianya juga produktif, kreatif dan inovatif dalam mengimplementasikan ide dalam kebutuhan masyarakat.
Persoalan lain adalah efektivitas dan efisiensi transformasi parpol tak mungkin terjadi bila perekrutmen kader dan pelaksanaan program masih berdasarkan ide-ide sektarian berdasarkan suku, agama, ras dan golongan. Sebab, model ini kontraproduktif dengan tuntutan nilai-nilai global yang merembes sampai ke desa melalui kemajuan teknologi inforamsi. Oleh karena itu, parpol perlu membuat perubahan manajemen kaderisasi kepengurusan dan simpatisan, misalnya, bagaimana parpol mengombinasikan para pendiri dan tokoh parpol yang telah berjasa (dari dalam) dengan kader-kader baru yang potensial dari berbagai bidang (dari luar). Mengapa? Kaderisasi dari dalam perlu dipertahankan demi menjamin kesinambungan. Sedangkan, kaderisasi dari luar dapat berperan sebagai penyegaran, dinamika, dan pembaruan.
Dalam konteks dinamika dan pembaruan hidup bernegara di dunia Arab awal tahun 2011, kemajuan teknologi informasi berperan sangat besar dalam berkobarnya revolusi di sana. Jejaring sosial di dunia maya, seperti Facebook, Twitter, dan Flickr, merupakan media di balik meluasnya demonstrasi antipemerintah, yang terbukti sudah menggulingkan dua presiden diktator, Ben Ali di Tunisia dan Mubarak di Mesir.
Strategi Implementasi
Hal-hal yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan transformasi parpol di berbagai bidang kepentingan masyarakat, khususnya mengenai aksesisibilitas terhadap teknologi informasi di tingkat kepengurusan ranting, cabang dan dan daerah adalah sebagai berikut.
Pertama, pemilihan ketua yang tepat, transparan, obyektif, dan lepas dari berbagai money politics. Perlu melakukan fit and proper test dengan mekanisme pemaparan program kerja yang matching antara tuntutan transformasi partai dan dinamika kebutuhan konstituen. Dalam hal ini kita patut memberikan credit point kepada Munas II PKS tahun 2010 yang menggunakan ide ”Partai untuk Semua” untuk mencari solusi atas berbagai tekanan dari rekanan koalisinya di pemerintahan 2009-2014. Kedua, ada kontrak manajemen aspirasi antara pengurus partai yang menjadi anggota legislatif dan konstituen yang terukur dan berbatas waktu, misalnya dua tahun dan ditinjau tiap satu tahun. Bila kinerja tak sesuai selama dua tahun berturut-turut, maka anggota legislatif yang bersangkutan harus mundur, kecuali pada kondisi tertentu. Tinjauan dilakukan oleh suatu komite yang beranggotakan orang-orang yang kredibel dan ahli di bidangnya.
Ketiga, jika segenap pengurus dan simpatisan parpol sependapat bahwa faktor ide dan SDM merupakan penentu keberhasilan transformasi parpol menjadi lebih besar porsinya di DPR tahun 2014-2019, seluruh pengurus dan kader parpol harus mendapatkan pendidikan dan pelatihan untuk pengembangan lebih lanjut. Dalam hal ini, Dewan Pimpinan Pusat masing-masing parpol sebagai shareholder dari semua Kepengurusan Pimpinan Ranting Parpol, Kepengurusan Pimpinan Cabang Parpol, dan Kepengurusan Pimpinan Daerah Parpol dapat berperan seperti inkubator di mana kinerja atau prestasi para pimpinan partai dari berbagai tingkatan dipantau, yang potensial dapat diberi perhatian khusus dalam rangka mengembangkan ide dan program demi meningkatkan jumlah simpatisan dan konstituen idelogis dan pragmatis. Keempat, program diklat berkala bagi semua posisi biro strategis melalui analisis SWOT sehingga teridentifikasi kepentingan parpol dan kebutuhan konstituen.
Jadi, kunci sukses transformasi parpol dalam masyarakat adalah SDM yang familiar dengan aplikasi teknologi informasi selain berkompeten dan berintegritas. Ciri utama organisasi modern adalah landasannya lebih berbasis pada pengetahuan (intellectual capital) ketimbang aset fisik (physical capital) yang lamban. Tentu saja, pengetahuan itu berguna bagi pendidikan dan pengembangan masyarakat dalam berbagai sektor. (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Ketua Atlasia Stata)
Cara Gila Jadi Pendidik
Pendidik inspiratif dapat menggairahkan dan memberi stimulasi. Stimulasi itu bisa berupa ide, pikiran, emosi bahkan mentalitas untuk berubah. Tugas pendidik demikian perlu dilakoni dengan pendekatan semangat seorang manager.
Sebagai pengajar entah itu pastor, pendeta apalagi guru dan dosen, selama ini kita cenderung bersikap terlalu tenang, dingin, dan menahan diri. Sikap demikian memang penting, namun kita tetap perlu lebih bergairah untuk berpartisipasi dengan berapi-api dalam aktualitas dan kontekstualitas perjuangan dan pergulatan siswa/mahasiswa dalam proses mereka menemukan sasarannya di belantara keanekaragaman pilihan dan peluang.
Pembelajaran inspiratif menuntut pendidik mengombinasikan beberapa ciri wiraniaga, pelamun, artis, perencana, filosof, pengacara, pendeta, prajurit dan diplomat bahkan jenderal perang. Pendidik adalah “bos” di kelas, kawan sekerja, kawan seangkatan, bawahan, pelajar, guru, penasehat dan tokoh sekaligus.
Semua pendidik di mana pun memiliki tantangan serupa, yaitu bagaimana memaksimalkan potensi siswa/mahasiswa di luar jangkauan kesadaran mereka sendiri dengan berusaha sesempurna mungkin melalui penetapan sasaran ambisius bagi mereka sekaligus bagi dirinya sendiri.
Pembelajaran yang memperhatikan hasil optimal maupun kepuasan belajar dan pertumbuhan pribadi para siswa/mahasiswanya, merupakan contoh pengetahuan dan seni pengajaran yang harus dimiliki oleh seorang pendidik.
Pendidik yang gagal menangani masalah akibat kelesuan pembelajaran yang menimpa siswa/mahasiswa di dalam kelas, akan gagal pula memaksimalkan efektivitas dam kontribusi paling berharga dalam pembelajaran, yaitu siswa/mahasiswa yang berbakat. Sebaliknya, siswa/mahasiswa yang tidak memandang secara obyektif pada kemungkinan ia menjadi korban inkompentensi pendidik, akhirnya terkurung dengan produktivitas di bawah potensi dan perasaan bosan terus-menerus. Kita berada di mana? (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Ketua Atlasia Stata)
Menuju Simbiosis Komodo-Kelimutu-Flores
Pulau Komodo-Kelimutu-Flores merupakan salah satu dari 15 kawasan wisata tanah air, yang ditetapkan sebagai Destination Management Office (DMO) oleh Dirjen Pengembangan Destinasi Pariwisata (PDP) Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata pada Agustus 2010 lalu. Kawasan lainnya adalah Kota Tua Jakarta, Pangandaran, Danau Toba, Bunaken, Tana Toraja, Mentawai, Bukittinggi, Borobudur, Rinjani, Raja Ampat, Wakatobi, Tanjung Puting, Derawan, Danau Batur-Kintamani, dan Bromo-Tengger-Semeru. Pengembangan 15 DMO ini akan berlangsung 2011-2014.
Ironisnya Dirjen PDP memprediksikan keberhasilan pengembangan 15 DMO itu membutuhkan 30 tahun. Khusus soal Pulau Komodo-Kelimutu-Flores, prediksi itu bisa menjadi kenyataan kalau saat ini kita memperhatikan masalah dua faktor strategis penunjangnya.
Pertama, masalah manajemen data dan informasi stakeholders di website Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Di sana, hanya ada 19 dari 400-an alamat pemda kabupaten/kota yang menangani kebudayaan dan/atau pariwisata di seluruh Indonesia dan kita samasekali tidak temukan alamat pemda kabupaten/kota yang berhubungan langsung dengan Pulau Komodo-Kelimutu-Flores. Alamat 19 pemda kabupaten/kota yang tercantum di website itu , yaitu Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Samosir; Pemerintah Kabupaten Toba Samosir; Dinas Pariwisata Kabupaten Kepulauan Mentawai; Kantor Pariwisata Kota Sawahlunto; Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kabupaten Bangka; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Tanjung Pinang; Dinas Kebudayaan, Kesenian & Pariwisata Teluk Kuantan; Dinas Pariwisata, Seni dan Budaya Kota Pagar Alam; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Ogan Komering Ilir; Dinas Pariwisata Kabupaten Garut; Badan Pembinaan dan Promosi Kota Bandung; Dinas Informasi Kepariwisataan dan Kebudayaan Kota Bogor; Dinas Pariwisata Kabupaten Kendal; Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Probolinggo; Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kota Bima; Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Berau; Dinas Kebudayaan, Pariwisata dan Perhubungan Kabupaten Pohuwato; Dinas Perhubungan dan Pariwisata Kabupaten Bone Bolango; dan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Wakatobi. Langkah yang bisa dilakukan untuk mengintegrasikan data dan informasi antara pusat dan stakeholders di daerah antara lain memantau standar prosedur koordinasi. Sebab, disintegrasi data dan informasi soal pengembangan destinasi pariwisata adalah cermin dari karut-marutnya birokrasi.
Kedua, ketertinggalan kualitas sumber daya manusia (SDM). SDM di pemda kabupaten/kota umumnya dan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata khususnya menjadi titik penting pencapaian DMO Pulau Komodo-Kelimutu-Flores yang inovatif, efisien dan efektif. Mentalitas feodal aparat pemda kabupaten/kota setempat merupakan kendala tersendiri. Mentalitas feodal ini menyebabkan kurangnya sinergi dan kerja sama lintas sektor dan lintas daerah.
Oleh karena itu, inovasi, efisiensi, dan efektivitas pengembangan DMO Pulau Komodo-Kelimutu-Flores memerlukan perbaikan sektor pendidikan dan pelatihan bagi aparat pemda kabupaten/kota di Flores. Jika kemampuan atau ketrampilan aparat pemda/kota meningkat, maka mereka akan membuat DMO Pulau Komodo-Kelimutu-Flores lebih efisien dan adaptif terhadap berbagai perubahan kompetisi regional.
Kami coba akselerasi implementasi DMO Pulau Komodo-Kelimutu-Flores dengan branding tagline “Simbiosis”. Branding tagline “Simbiosis” merupakan kesimpulan dan saran atas hasil penelitian pada Januari 2010 di Daerah Kabupaten Manggarai Barat. Permasalahan terletak pada pengembangan, pengelolaan dan retribusi Obyek dan Daya Tarik Wisata (ODTW) yangterkonsentrasi di Kecamatan Komodo, khususnya di Pulau Komodo dan sekitarnya. Padahal Daerah Manggarai Barat memiliki 79 ODTW yang tersebar di 7 kecamatan, yaitu Kecamatan Komodo dengan ibukota Labuan Bajo, Kecamatan Boleng dengan ibukota Terang; Kecamatan Sano Nggoang dengan ibukota Werang; Kecamatan Lembor dengan ibukota Wae Nakeng; Kecamatan Welak dengan ibukota Orong; Kecamatan Kuwus dengan ibukota Golowelu; dan Kecamatan Macang Pacar dengan ibukota Bari.
Komodo merupakan identitas dan representasi dari 78 ODTW di Daerah Kabupaten Manggarai Barat. Branding tagline “Simbiosis” berfungsi sebagai “awareness campaign” yang memiliki asosiasi positif, imaginatif, dan mudah dipahami oleh shareholders, stakeholders, dan masyarakat tentang pengembangan ODTW terpadu. Harus diingat pula arti “kampanye” adalah “to win the heart” of people. Semua wisatawan. (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Pendiri Atlasia Stata)
Bangun Reputasi Via Facebook
Facebook merupakan inovasi dan revolusi dalam teknologi informasi. Khususnya bagaimana relasi manusia dengan komputer. Relasi yang memiliki multiplikasi dalam pembangunan masyarakat. Ia memfasilitasi proses peran serta masyarakat (involvement). Ia menjembatani bagaimana konsep dan praktek partisipasi masyarakat secara luas (inclusion). Singkatnya, Facebook memungkinkan masyarakat memiliki 3 (tiga) prakondisi supaya berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat, yaitu : adanya jaminan akses masyarakat terhadap informasi (acces), adanya wadah untuk mengakomodasikan pendapat masyarakat (voice), dan adanya jaminan bagi peran aktif masyarakat melakukan kontrol (control).
Reputasi : knowledge management
Acces, voice, dan control merupakan fondasi public relations yang efisien dan efektif untuk membangun reputasi. Reputasi adalah apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan dan apa yang orang lain katakan tentang kita (Theaker, 2001). Reputasi, lanjutnya, adalah segala-galanya dalam public relations. Artinya, kinerja dan pencapaian seseorang dan organisasinya yang baik sama strategisnya dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikannya. Alasanya adalah kinerja dan pencapaian yang baik akan memberi nilai tambah bagi seseorang atau organisasinya kalau diketahui publik. Reputasi adalah hasil akhir dari kinerja dan perilaku yang konsisten, yang kemudian secara konsisten pula dikomunikasikan kepada publik (Doorley dan Garcia, 2007)
Facebook menjadi media impian para praktisi komunikasi untuk mengaplikasikan tips-tips membangun reputasi. Lagipula, ia merupakan forum publik baru yang paling dinamis. Setiap orang melakukan public relations dirinya di tengah masyarakat dengan kata-kata, gambar, foto, video, dan iklan, sebagaimana layaknya sebuah perusahaan melakukannya kepada stakeholders dan shareholders. Facebook bahkan bisa disebut sebagai trendsetter perubahan sosial saat ini. Tetapi, sebagai trendsetter, kita juga perlu melihat apa perbedaannya dengan media konvensional soal menstimulasi perubahan sosial.
Facebook versus media konvensional
Kolumnis, jurnalis, reporter dan wartawan media konvensional berkomunikasi searah dalam waktu dan ruangan terbatas. Paulo Freire menyebutnya ”model komunikasi gaya bank”. Artinya, segelintir ”komunikator” memberikan pesan dan mengalihkan ”tabungan” pengetahuan, nilai, dan norma-normanya kepada masyarakat ”gagap” sebagai komunikan. Harapannya adalah masyarakat ”menggunakan” isi tabungan tadi untuk kehidupan dan gaya hidup ”modern”. Tapi konsekuensinya, selain masyarakat atau komunitas tertentu kehilangan kontrol atas media dan isinya (Oepen, 1988a) juga mereka teralienasi dari konteks struktural dan kulturalnya.
Mark Zuckerberg membelah dominasi ”model komunikasi gaya bank” dengan model komunikasi dan informasi partisipatif dalam jejaring sosial situs Facebook. Sentralisasi membuat publikasi media konvensional menjadi kaku. Arus informasi antara komunikator dan komunikan dari semua tempat amat terbatas. Sedangkan facebooker akan menerima informasi dari mana saja. Deadline dan isi tematis menciptakan priviledge siapa yang menjadi komunikator tentang apa. Fleksibilitas Facebook menciptakan kelancaran lalu lintas komunikasi dan informasi tanpa batas.
Facebook : komunitas tematis lahir tiap hari
Media konvensional bersifat elitis lantaran isinya yang padat, terstruktur, dan exact. Berita ringkas dan ringan facebook digandrungi oleh semua kalangan. Media konvensional kadang-kadang menjadi representasi kekuatan ekonomi, sosial dan politik. Itu membuatnya sulit menjadi media pergerakan sosial yang membutuhkan kemendesakan tertentu. Kini, facebook menjadi media bagi forum pergerakan sosial tematis alternatif untuk mempengaruhi opini publik. Beberapa contoh seperti dukungan untuk Prita Mulyasari, penjelasan kriminalisasi KPK, promosi Komodo jadi salah satu keajaiban alam dunia, dukungan untuk Integritas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kasus Bank Century dan sebagainya. Dengan kata lain, Facebook menjadi media ekspresi diri masyarakat dalam menyatakan solidaritasnya. Ia juga memfasilitasi berbagai solusi atas problem-problem aktual kemasyarakatan. Inilah yang membuat komunitas tematis lahir setiap hari di Facebook.
Dalam media konvensional, publik lebih menilai aspek IQ seorang kolumnis, jurnalis, komentator, wartawan dan pembaca berita daripada aspek lain seperti EQ dan SQ. Tetapi, seorang facebooker bisa mempresentasikan aspek IQ, EQ dan SQ secara integratif dengan berita, foto dan gambarnya.
Saat ini, facebook menciptakan revolusi komunikasi pemasaran diri dan organisasi. Selain karena luasnya kebebasan seseorang bersosialisasi lintas batas, juga karena makin besarnya kontrol sosial orang lain untuk mengukur reputasi kita. (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Alumni Pascasarjana FE Universitas Mercu Buana Jakarta)
Komputer : Jalan Menjadi Manusia
“It is not the strongest nor the most intelligent of the species that survives, but the one that is most adaptable to change.” (Charles Darwin)
Dewasa ini, kita dapat membandingkan antara kegairahan kita dalam diskusi daya magis agama sepanjang sejarah peradaban manusia dan kegairahan kita berbicara tentang komputer sejak era 1980-an. Agama dan komputer telah berpengaruh besar pada pola pikir, pola sikap, dan pola perilaku manusia dalam usahanya memaknai diri di tengah relasi dengan sesama dan realitas lain di sekelilingnya.
Di negara-negara maju, komputer jadi way of life dari masyarakat. Sebagai way of life, mereka menggunakan komputer untuk mengakses berbagai informasi dari berbagai belahan dunia lewat sistem jaringan internet. Informasi menjadi bagian penting dari proses pematangan mentalitas, emosionalitas, dan kesadaran diri. Tetapi, di Indonesia, komputer masih langka sehingga lebih dari separuh rakyat Indonesia terisolasi dari informasi. Kelangkaan tersebut disebabkan oleh sumber daya manusia pemerintahan yang belum maksimal mengelola informasi sebagai aset bagi proses perubahan sosial, budaya, ekonomi, politik, budaya, dan pertahanan-keamanan menuju masyarakat beradab (civil society). Persoalannya adalah bagaimana masyarakat Indonesia bisa membangun civil society dalam kondisi minimnya sarana sumber informasi?
Komputer menjadi sarana vital globalisasi. Ia membantu kita mengakses berbagai informasi strategis seputar tatanan masyarakat global. Fungsinya yang strategis bisa menjadi konstruktif sekaligus destruktif bagi masyarakat. David J. Bolter mendeskripsikan situasi ini (Turing’s Man : Western Culture in the Computer Age, 1984), seperti dikutip Dennis C. Smolarski (1988), bahwa komputer telah menentukan bagaimana kita bertindak dan mendefinisikan diri sendiri di tengah sesama dan lingkungan hidup. Dengan kata lain, komputer mampu me-”manusia”-kan diri sendiri.
Situasi dilematis manusia
Smolarski, dalam refleksinya, The Spirituality of Computers (Spirituality Today, Winter 1988, Vol. 40 No. 4, pp. 292 -307) mendeskripsikan posisi komputer sejajar dengan fungsi kendaraan, pesawat terbang, telpon, radio, dan televisi. Yaitu, mereka membuat hidup kita kian lebih praktis sekaligus lebih kompleks. Teknologi komunikasi informasi yang baru ini (komputer) berkapasitas untuk mempertinggi penghargaan kita terhadap ciptaan yang sungguh-sungguh mengagumkan. Dengan bantuan alat-alat tadi, kita dapat bekerja lebih efisien dan efektif. Tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan dan bisnis, tetapi juga dalam berbagai upaya kegiatan kemanusiaan seperti peace building, keadilan, toleransi, pendidikan, dan pengembangan sumber daya manusia.
Bertolak dari pengalaman kehadiran agama di tengah umat manusia, Smolarski memprediksi komputer dengan berbagai perangkat sistemnya yang canggih, akan berpengaruh posifit dan negatif pada kita, tetapi semuanya itu bergantung pada bagaimana kita sendiri memanfaatkannya.
Pendapat Smolarski, tentang kelebihan komputer itu merupakan hasil pengamatannya sendiri pada prinsip kerja komputer. Komputer bekerja pada prinsip ”setiap saat, setiap waktu interaktif”, sehingga ia mengatasi hambatan ruang dan waktu. Misalnya, seorang fotografer di lapangan bisa menyiapkan foto ke kantor pusat redaksinya hanya dalam hitungan menit bila ia memakai kamera sistem digital. Bayangkan jika seorang fotografer, yang meliput berbagai peristiwa menarik (seperti ulah para supporter, aksi para pemain sepak bola plus pelatihnya, obyek wisata dan sebagainya) seputar liga-liga di kawasan Eropa dan yang meliput berbagai peristiwa (demo, dialog, sidang, dan sebagainya) di berbagai belahan dunia, harus mencuci dulu filmnya di studio atau harus ke kantor, maka akan memerlukan waktu lama, dan mereka akan ketinggalan peristiwa di lapangan.
Komputer pun melalui perangkat khusus sistem internet telah membantu para wartawan cetak bisa melaporkan dan memantau berita dengan cepat dan cermat dari berbagai belahan dunia, yang berjarak ribuan kilometer. ”Melalui internet kita bisa menjangkau seluruh dunia. Kita bisa melihat apa yang terjadi di berbagai belahan dunia. Sebelumnya itu tak mungkin,” kata Peter Kuiper, seorang pakar teknologi informasi, seperti dikutip Endang Roh Suciati (2000).
Jasa internet, misalnya, telah membuka mata masyarakat internasional apa motivasi terselubung USA untuk menyerang Irak. Kecaman terhadapa USA kemudian merupakan gerakan moral terbesar sepanjang sejarah umat manusia untuk menentang adanya peperangan atas negara lain. Saat ini, di Indonesia, ada gerakan 1.000.000 facebookers dukung Chandra Hamzah dan Bibit Samad Riyanto untuk reformasi sistem penegakan hukum di Indonesia. Gerakan ini membuka kotak pandora konspirasi yang melemahkan sistem hukum selama ini.
Di sisi lain, komputer pun bisa mengganggu proses terbentuknya civil society bila digunakan untuk hal-hal destruktif seperti hacker yang menciptakan virus untuk mengganggu sistem informasi dan komunikasi dengan melakukan transaksi palsu, penyadapan yang melanggar privasi orang, pornografi yang bebas, dan berbagai kasus kejahatan dunia maya lainnya.
Berbagai problem yang muncul, menurut Smolarski, lebih merupakan akibat penyalahgunaan oleh kita sendiri. Banyak orang masih terbelenggu oleh obsesi lebih mementingkan diri sendiri daripada kesejahteraan bersama dan keutuhan lingkungan hidup. Smolarski menyebut pembalikan fungsi ini sebagai penyalagunaan rahmat ilahi. Perkembangan komputer dalam budaya manusia, lanjutnya, merupakan suatu perkembangan ”ilmu pengetahuan” informasi. Tetapi, perkembangan itu malah tidak membuat kita lebih dekat kepada kemanusiaan universal.
Gap ini muncul dari kekeliruan kita dalam memilih informasi untuk berelasi dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri, sesama dan Tuhan. H. Bastian, seorang teolog-pedagog, seperti dikutip Robert Bala (2003), mengingatkan bahwa sibernetik merupakan bagian khusus dari komunikasi yang diartikan sebagai kontak yang terjalin melalui informasi. Tanpa informasi, maka komunikasi akan kehilangan gairah.
Dalam konteks Indonesia, ada persoalan bagaimana kita bisa berkomunikasi dalam kenyataan pluralitas dan heterogenitas keindonesiaan? Di manakah teridentifikasi berbagai hambatan komunikasi selama ini? Persoalan ini selalu mempunyai kemendesakan tersendiri mengingat mayoritas masyarakat Indonesia beragama. Selama ini, lantaran salah kelola informasi, umat beragama menodai jati diri agamanya yang sejati, yaitu agama yang berpihak kepada kepentingan kemanusiaan, menegakkan keadilan, peduli pada rakyat, dan menghindari kekerasan. Bagaimana memulihkan jati diri agama yang sejati di dalam setiap pribadi penganutnya? Smolarski memang tak memberikan solusi cepat saji. Ia menekankan pentingnya proses menuju kesadaran diri dan sosial yang berlandaskan komunikasi ”kasih” sebagai bahasa universal.
Informasi demi Integrasi
Komputer bukan hanya sebagai wujud perkembangan teknologi informasi, tetapi juga bentuk integrasinya berbagai aspek kehidupan kita. Komputer berperan dalam usaha penyadaran mentalitas yang masih berpusat pada egoisme dan fanatisme. Agama, misalnya, hendaknya cepat tanggap terhadap peluang ini untuk mensosialisasikan nilai-nilai religiusnya dalam berbagai aspek kehidupan kita. Begitu pula negara agar menyediakan berbagai perangkat hukum yang mengatur masyarakat dalam aplikasi kecanggihan teknologi informasi ini.
Kolaborasi antara efisiensi komputer dan berbagai bidang kehidupan merupakan berbagai kemungkinan yang tak dapat kita hindari. Maka bukan zamannya lagi untuk mengkotak-kotakkan bidang ilmu secara ketat, karena makin disadari ilmu pengetahuan pada hakikatnya, menurut Edward O. Wilson (Consilience : The Unity of Knowledge, 1998), merupakan satu kesatuan.
Pematangan mentalitas dan emosionalitas bersikap dan berprilaku rasional dan bijak atas fungsi komputer mutlak menjadi satu paket dengan pendidikan transfer teknologi informasi kepada berbagai lapisan masyarakat. Perbedaan peran komputer sebagai sarana konstruktif atau sarana destruktif bagi kita, menurut Smolarski, tampaknya sederhana, yaitu kesadaran sosial. Kesadaran sosial menentukan sebuah pilihan apa yang berpengaruh pada diri sendiri, sesama dan lingkungan. Dengan demikian, komputer bisa menjadi sarana kontrol sosial konstruktif atau destruktif bagi berbagai perkembangan bidang hidup kita hanya tergantung pada bagaimana mentalitas kita memanfaatkannya.
Akhirnya, komputer pun bisa mengundang setiap insan untuk menyadari dan mengenal kembali apakah kita dapat menempatkan kegunaan hasil ciptaan sendiri demi kemanusiaan? Jangan sampai hasil ciptaan kita justru menjadi bumerang yang mengancam kehidupan sendiri. (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Mahasiswa Pascasarjana FE Universitas Mercu Buana Jakarta)
Musashi’s Way dalam Kelas
Musashi adalah contoh orang yang belajar dari realitas sederhana di sekelilingnya. “Ternyata diperlukan banyak teknik untuk membuat barang sederhana itu,” ujar Musashi, saat ia sedang terpesona menyaksikan betapa cekatannya seorang tukang tembikar, yang umurnya hampir enam puluh tahun, menggerakkan jari-jarinya dan memainkan kape-nya untuk membuat mangkuk teh.
Pengalaman menyaksikan dan memikirkan ketrampilan, pemusatan perhatian, dan kesetiaan yang dicurahkan para tukang tembikar untuk membuat barang-barang sesederhana dan semurah itu pada zamannya, justru membuat Musashi merasa bahwa jalannya sendiri masih panjang, jika ia ingin mencapai taraf kesempurnaan dalam seni pedang yang diinginkannya sebagai prasyarat ksatria sejati pada zamannya (Eiji Yoshikawa, MUSASHI, Buku Kedua : Air)
Setiap mahasiswa datang ke kelas dengan perasaan, pikiran, beban, imajinasi, kreativitas, harapan, impian dan kemauan yang berbeda. Perbedaan ini perlu diperhatikan oleh setiap pengajar saat ia mulai menata kelas untuk berkonsentrasi dalam proses kegiatan pembelajaran.
Pertama, mulai dengan pendekatan aplikasi pelajaran yang bersangkutan dalam strategi menjawab realitas keseharian. Sebab, kelas adalah tempat untuk menformat kembali pengalaman yang mereka alami. Kedua, best practices akan memperkuat teori sehingga pembelajaran berlangsung efektif agar siswa memahami teorinya. Terakhir, tugas mandiri untuk mahasiswa merupakan langkah awal bagi mahasiswa untuk mengaplikasikan teori tersebut dalam pengalaman sehari-hari.