Facebook merupakan inovasi dan revolusi dalam teknologi informasi. Khususnya bagaimana relasi manusia dengan komputer. Relasi yang memiliki multiplikasi dalam pembangunan masyarakat. Ia memfasilitasi proses peran serta masyarakat (involvement). Ia menjembatani bagaimana konsep dan praktek partisipasi masyarakat secara luas (inclusion). Singkatnya, Facebook memungkinkan masyarakat memiliki 3 (tiga) prakondisi supaya berpartisipasi dalam pembangunan masyarakat, yaitu : adanya jaminan akses masyarakat terhadap informasi (acces), adanya wadah untuk mengakomodasikan pendapat masyarakat (voice), dan adanya jaminan bagi peran aktif masyarakat melakukan kontrol (control).
Reputasi : knowledge management
Acces, voice, dan control merupakan fondasi public relations yang efisien dan efektif untuk membangun reputasi. Reputasi adalah apa yang kita lakukan, apa yang kita katakan dan apa yang orang lain katakan tentang kita (Theaker, 2001). Reputasi, lanjutnya, adalah segala-galanya dalam public relations. Artinya, kinerja dan pencapaian seseorang dan organisasinya yang baik sama strategisnya dengan bagaimana seseorang mengkomunikasikannya. Alasanya adalah kinerja dan pencapaian yang baik akan memberi nilai tambah bagi seseorang atau organisasinya kalau diketahui publik. Reputasi adalah hasil akhir dari kinerja dan perilaku yang konsisten, yang kemudian secara konsisten pula dikomunikasikan kepada publik (Doorley dan Garcia, 2007)
Facebook menjadi media impian para praktisi komunikasi untuk mengaplikasikan tips-tips membangun reputasi. Lagipula, ia merupakan forum publik baru yang paling dinamis. Setiap orang melakukan public relations dirinya di tengah masyarakat dengan kata-kata, gambar, foto, video, dan iklan, sebagaimana layaknya sebuah perusahaan melakukannya kepada stakeholders dan shareholders. Facebook bahkan bisa disebut sebagai trendsetter perubahan sosial saat ini. Tetapi, sebagai trendsetter, kita juga perlu melihat apa perbedaannya dengan media konvensional soal menstimulasi perubahan sosial.
Facebook versus media konvensional
Kolumnis, jurnalis, reporter dan wartawan media konvensional berkomunikasi searah dalam waktu dan ruangan terbatas. Paulo Freire menyebutnya ”model komunikasi gaya bank”. Artinya, segelintir ”komunikator” memberikan pesan dan mengalihkan ”tabungan” pengetahuan, nilai, dan norma-normanya kepada masyarakat ”gagap” sebagai komunikan. Harapannya adalah masyarakat ”menggunakan” isi tabungan tadi untuk kehidupan dan gaya hidup ”modern”. Tapi konsekuensinya, selain masyarakat atau komunitas tertentu kehilangan kontrol atas media dan isinya (Oepen, 1988a) juga mereka teralienasi dari konteks struktural dan kulturalnya.
Mark Zuckerberg membelah dominasi ”model komunikasi gaya bank” dengan model komunikasi dan informasi partisipatif dalam jejaring sosial situs Facebook. Sentralisasi membuat publikasi media konvensional menjadi kaku. Arus informasi antara komunikator dan komunikan dari semua tempat amat terbatas. Sedangkan facebooker akan menerima informasi dari mana saja. Deadline dan isi tematis menciptakan priviledge siapa yang menjadi komunikator tentang apa. Fleksibilitas Facebook menciptakan kelancaran lalu lintas komunikasi dan informasi tanpa batas.
Facebook : komunitas tematis lahir tiap hari
Media konvensional bersifat elitis lantaran isinya yang padat, terstruktur, dan exact. Berita ringkas dan ringan facebook digandrungi oleh semua kalangan. Media konvensional kadang-kadang menjadi representasi kekuatan ekonomi, sosial dan politik. Itu membuatnya sulit menjadi media pergerakan sosial yang membutuhkan kemendesakan tertentu. Kini, facebook menjadi media bagi forum pergerakan sosial tematis alternatif untuk mempengaruhi opini publik. Beberapa contoh seperti dukungan untuk Prita Mulyasari, penjelasan kriminalisasi KPK, promosi Komodo jadi salah satu keajaiban alam dunia, dukungan untuk Integritas Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam kasus Bank Century dan sebagainya. Dengan kata lain, Facebook menjadi media ekspresi diri masyarakat dalam menyatakan solidaritasnya. Ia juga memfasilitasi berbagai solusi atas problem-problem aktual kemasyarakatan. Inilah yang membuat komunitas tematis lahir setiap hari di Facebook.
Dalam media konvensional, publik lebih menilai aspek IQ seorang kolumnis, jurnalis, komentator, wartawan dan pembaca berita daripada aspek lain seperti EQ dan SQ. Tetapi, seorang facebooker bisa mempresentasikan aspek IQ, EQ dan SQ secara integratif dengan berita, foto dan gambarnya.
Saat ini, facebook menciptakan revolusi komunikasi pemasaran diri dan organisasi. Selain karena luasnya kebebasan seseorang bersosialisasi lintas batas, juga karena makin besarnya kontrol sosial orang lain untuk mengukur reputasi kita. (Lelo Yosep, Dosen Universitas Bina Nusantara Jakarta dan Alumni Pascasarjana FE Universitas Mercu Buana Jakarta)